Ulum Minnafiah (Foto: dok. pribadi)
PEMERINTAH telah membentuk lembaga Komisi
Pemberantasan Koru
psi (KPK) sejak 2002 lalu berdasarkan UU Nomor 30, disusul dengan Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Namun lembaga tersebut nyatanya belum mampu menurunkan jumlah praktik korupsi yang semakin marak.
Tak pandang bulu, korupsi merambah di berbagai lini. Mulai dari politik, pendidikan, hingga Kementerian Agama. Tak tanggung-tanggung, pengadaan kitab suci pun dikorupsi oleh pihak yang dianggap “bersih”. Masyarakat benar-benar dibuat geleng kepala berkali-kali. Setiap hari berita yang tersaji pada media cetak maupun elektronik seolah tak pernah ketinggalan dengan kasus korupsi. Tema yang sama dengan subjek yang berbeda dan penyelesaian hukum yang tak kunjung usai.
Begitu seringnya kata itu dikonsumsi publik. Korupsi seakan kehilangan makna sejatinya sebagai sesuatu yang buruk. Korupsi sudah tak dihiraukan lagi sebagai sesuatu yang tabu. Layaknya gosip yang hangat dan terus diperbincangkan. Pada akhirnya pelaku korupsi pun tak lagi malu untuk melakukan aksinya tanpa tedeng aling-aling.
Generasi penerus bangsa terindikasi mengalami degradasi moral, termasuk mental korup yang membudaya di masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pendidikan ditempatkan pada garda terdepan untuk menjawab permasalahan bangsa. Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan Pendidikan Antikorupsi dalam kurikulum prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi mulai tahun ajaran 2012/2013 seolah menemukan momentumnya di tengah menjamurnya praktik korupsi di Indonesia.
Meskipun nilai agama dan moral telah diajarkan di lingkungan intern dan ekstern seperti keluarga dan pendidikan formal sejak dulu, pun belum efektif untuk menekan jumlah kasus korupsi yang semakin menanjak. Hal tersebut dipandang menjadi transformasi konseptual saja. Artinya pengajarannya hanya sebatas teori tanpa mengindahkan praktik nyata. Simbol maupun angka yang digunakan sebagai tolok ukur nilai diambil dari penguasaan materi, dan mengabaikan implementasinya pada akhlak sehari-hari.
Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi menjadi cara yang relevan utuk menekan tindak korupsi yang sudah membudaya di negara ini. Dalam konteks pembangunan budaya bangsa anti korupsi, pendidikan sangat berperan untuk memelihara norma dan nilai kehidupan positif masyarakat dari pengaruh budaya korupsi. Proses pendidikan yang benar memberikan bekal untuk melindungi jati diri peserta didik dari pengaruh negatif globalisasi. Tidak hanya untuk kepentingan individu peserta didik, melainkan juga untuk kepentingan umum masyarakat.
Untuk membangun pendidikan yang beradab dan bermartabat, diperlukan adanya kerangka acuan berfikir dalam penataan dan pengembangan pembelajaran. Dengan menggabungkan berbagai sudut pandang mengenai esensi dan fungsi pendidikan anti korupsi, sehingga keterpaduan dan konsep kurikulum dan pembelajaran yang ditawarkan dapat tercapai.
Tujuan yang ingin dicapai yakni menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Diharapkan semangat anti korupsi ini mengalir dalam setiap darah anak didik dan kemudian mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Karakter
Pendidikan anti korupsi sejalan dengan pendidikan karakter yang mulai gencar diwacanakan oleh pemerintah. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak peserta didik, pendidikan karakter diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam pembentukan jati diri yang jujur dan berparadigma pancasila serta UUD 1945 sesuai dengan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jika pendidikan karakter sudah menjadi orientasi dan tujuan pembelajaran, tentu sekolah akan menjadi tempat penyemaian budaya kejujuran. Bukan hanya melahirkan generasi penerus yang pandai secara intelektual, emosional, dan spiritual, tapi juga memiliki kepribadian baik dan bertanggungjawab.
Upaya pemberantasan korupsi tidak dapat diselesaikan secara instan. Langkah preventif yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahaya laten ini, hendaknya dimulai dari lembaga yang sifatnya laten pula yaitu proses pembelajaran di sekolah. Kesadaran kolektif masyarakat perlu ditumbuhkembangkan sejak dini. Proses pembiasaan kejujuran diasumsikan lebih efektif, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan dan mengembangkan potensi dasar mereka. Sehingga karakter yang dikembangkan bukan sekedar tempelan belaka.
Ulum Minnafiah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muria Kudus (UMK)
Anggota Unit Kegiatan Jurnalistik Pena Kampus
(//rfa)
psi (KPK) sejak 2002 lalu berdasarkan UU Nomor 30, disusul dengan Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Namun lembaga tersebut nyatanya belum mampu menurunkan jumlah praktik korupsi yang semakin marak.
Tak pandang bulu, korupsi merambah di berbagai lini. Mulai dari politik, pendidikan, hingga Kementerian Agama. Tak tanggung-tanggung, pengadaan kitab suci pun dikorupsi oleh pihak yang dianggap “bersih”. Masyarakat benar-benar dibuat geleng kepala berkali-kali. Setiap hari berita yang tersaji pada media cetak maupun elektronik seolah tak pernah ketinggalan dengan kasus korupsi. Tema yang sama dengan subjek yang berbeda dan penyelesaian hukum yang tak kunjung usai.
Begitu seringnya kata itu dikonsumsi publik. Korupsi seakan kehilangan makna sejatinya sebagai sesuatu yang buruk. Korupsi sudah tak dihiraukan lagi sebagai sesuatu yang tabu. Layaknya gosip yang hangat dan terus diperbincangkan. Pada akhirnya pelaku korupsi pun tak lagi malu untuk melakukan aksinya tanpa tedeng aling-aling.
Generasi penerus bangsa terindikasi mengalami degradasi moral, termasuk mental korup yang membudaya di masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pendidikan ditempatkan pada garda terdepan untuk menjawab permasalahan bangsa. Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan Pendidikan Antikorupsi dalam kurikulum prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi mulai tahun ajaran 2012/2013 seolah menemukan momentumnya di tengah menjamurnya praktik korupsi di Indonesia.
Meskipun nilai agama dan moral telah diajarkan di lingkungan intern dan ekstern seperti keluarga dan pendidikan formal sejak dulu, pun belum efektif untuk menekan jumlah kasus korupsi yang semakin menanjak. Hal tersebut dipandang menjadi transformasi konseptual saja. Artinya pengajarannya hanya sebatas teori tanpa mengindahkan praktik nyata. Simbol maupun angka yang digunakan sebagai tolok ukur nilai diambil dari penguasaan materi, dan mengabaikan implementasinya pada akhlak sehari-hari.
Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi menjadi cara yang relevan utuk menekan tindak korupsi yang sudah membudaya di negara ini. Dalam konteks pembangunan budaya bangsa anti korupsi, pendidikan sangat berperan untuk memelihara norma dan nilai kehidupan positif masyarakat dari pengaruh budaya korupsi. Proses pendidikan yang benar memberikan bekal untuk melindungi jati diri peserta didik dari pengaruh negatif globalisasi. Tidak hanya untuk kepentingan individu peserta didik, melainkan juga untuk kepentingan umum masyarakat.
Untuk membangun pendidikan yang beradab dan bermartabat, diperlukan adanya kerangka acuan berfikir dalam penataan dan pengembangan pembelajaran. Dengan menggabungkan berbagai sudut pandang mengenai esensi dan fungsi pendidikan anti korupsi, sehingga keterpaduan dan konsep kurikulum dan pembelajaran yang ditawarkan dapat tercapai.
Tujuan yang ingin dicapai yakni menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Diharapkan semangat anti korupsi ini mengalir dalam setiap darah anak didik dan kemudian mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Karakter
Pendidikan anti korupsi sejalan dengan pendidikan karakter yang mulai gencar diwacanakan oleh pemerintah. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak peserta didik, pendidikan karakter diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam pembentukan jati diri yang jujur dan berparadigma pancasila serta UUD 1945 sesuai dengan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jika pendidikan karakter sudah menjadi orientasi dan tujuan pembelajaran, tentu sekolah akan menjadi tempat penyemaian budaya kejujuran. Bukan hanya melahirkan generasi penerus yang pandai secara intelektual, emosional, dan spiritual, tapi juga memiliki kepribadian baik dan bertanggungjawab.
Upaya pemberantasan korupsi tidak dapat diselesaikan secara instan. Langkah preventif yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahaya laten ini, hendaknya dimulai dari lembaga yang sifatnya laten pula yaitu proses pembelajaran di sekolah. Kesadaran kolektif masyarakat perlu ditumbuhkembangkan sejak dini. Proses pembiasaan kejujuran diasumsikan lebih efektif, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan dan mengembangkan potensi dasar mereka. Sehingga karakter yang dikembangkan bukan sekedar tempelan belaka.
Ulum Minnafiah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muria Kudus (UMK)
Anggota Unit Kegiatan Jurnalistik Pena Kampus
(//rfa)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !